Sabtu, 20 Maret 2010

fiksi -Surat Cinta-


Ku rangkaikan rapat-rapat pada tiap hurufnya dan akhirnya sampai di matamu. Pada malam yang diriku tak dapat terpejam, hingga kekagumanku padamu menumpuk dan berjejalan di dalam pikiranku. Ku coba menjadi bisu tatkala cinta itu bersembunyi di hatiku, namun cinta ini tak bisa diam duduk manis di dalam dan pada akhirnya menyembul keluar berbentuk surat yang padamu ku ceritakan tentang aku yang telah cinta pada seseorang yang baik dan tampan.

Aku Fahira Angkasa Putri, temanmu satu gedung, meski kita tak sekantor aku kerap melihatmu dengan motormu yang biru. Dengan sengaja ku cari tahu siapa dirimu, nama dan dimana kamu tinggal. Kekagumanku dimulai saat aku melihatmu menjadi imam sholat maghrib di masjid dekat kantor kita, kebetulan aku saat itu juga lembur.

Aku Fariha, yang datang menyampaikan cinta dan kemantapan hati untuk mengenalmu lebih dekat. Mencoba berharap bahwa engkau adalah jodohku, Firdaus Ali seorang Arsitek yang rupawan. Tiada ku bermaksud mengurangi kemuliaanku sebagai seorang wanita dengan caraku menyampaikan rasa dengan gamblangnya, namun aku sebagai seorang perempuan hanya tidak ingin berlama-lama memendam perasaan.

Alamatmu aku dapatkan dari salah satu teman kerjamu, hingga sampailah suratku padamu. Sedikit aku bercerita tentang diriku. Aku adalah seorang muslimah, berusia 25 tahun, aku bekerja di kantor yang sekarang baru lima bulan sebagai editor iklan media cetak dan media elektronik. Aku dapat meyakinkan dirimu bahwa bukan pilihan yang salah jika engkau memilihku sebagai pasangan hidupmu. Maafkan bila ku terlalu dini mengatakannya, namun kemana lagi rasa cinta akan bermuara kalau tidak pada sebuah hubungan yang halal.

Cukuplah aku mengungkap apa yang tersembunyi di dalam hati, dan kubiarkan kau menyikapi ini.

Wassalam

Fariha Angkasa Putri

cerpen "Memilih Cinta"


Aku tak dapat melupakan pertemuan itu, kemarin sore sepulangnya dari kantor, sepeda motorku dengan tidak sengaja menyenggol seorang perempuan yang tak lain adalah mantan pacarku sewaktu kuliah di Bandung. Dan pada akhirnya aku dengan segera membawanya ke rumah sakit yang kebetulan hanya beberapa meter dari tempat kejadian. Alhamdulillah tak ada luka parah, hanya lengan kirinya lecet sedikit. Sebagai rasa bersalahku padanya, ku traktir Soto di tempat favoritku di bilangan pasar minggu. Dari situ percakapan pun dimulai.

“Sudah lima tahun kita ngga pernah ketemu, sekarang kamu gendutan ya” Sasmi mengawali percakapan di sore ba’da maghrib yang agak mendung.

“Iya nih, tapi gantengku ngga ilang kan ?!” tanyaku setengah menggoda.

Percakapan-percakapan ringan terus berlanjut, Sasmi pun meminta aku mengantarnya ke toko buku untuk mencari buku tentang aneka kue terbaru kegemarannya sejak dulu. Nomer handphone pun telah kami berikan satu sama lain. Aku iba melihatnya sekarang, kehidupan rumah tangganya sangat berantakan, suami yang menikahinya sering ringan tangan, ia perlihatkan memar di betis kanannya bekas pukulan suaminya itu.

♦♦♦

“Assalamualaikum….” ku buka pintu rumahku yang tak terkunci. Istriku Melati tertidur di sofa biru muda ruang keluarga. Ah, aku pulang terlalu malam, aku keasikan bertemu Sasmi, sampai-sampai aku baru pulang jam sepuluh.

♦♦♦

“Mas, semalam pulang jam berapa, kok tumben telat ?” tanya istriku yang sudah empat tahun ku nikahi.

“Aku..aku semalam lembur, atasanku yang menyuruhku, maaf tidak bilang sebelumnya” kilahku padanya, aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, aku takut dia terluka.

“Oh…, mas nanti agak siangan aku ijin kerumah sahabatku Luna ya, ba’da zhuhur nanti ada aqiqahan anak keduanya, aku mau bantu-bantu aja, boleh ya mas !” Melati meminta ijin kepadaku, begitulah dia, selalu meminta ijin dariku, aku sangat sayang dengan istriku yang sholiha itu. Empat tahun rumah tangga kami namun belum dikaruniai seorang anak, Ibuku sejak setahun yang lalu menyuruhku untuk menikah lagi untuk mendapatkan keturunan, Melati menangis mendengar hal itu, namun aku selalu meyakinkannya.

♦♦♦

Ku beranjak dari ruang kerjaku, ku percepat langkah untuk segera pulang, lantaran istriku katanya sore ini masak kolak pisang kesukaanku. Belum sampai aku menaiki motorku, handphoneku berbunyi, Sasmi menelfonku. Di seberang sana Sasmi ku dengar menangis tanpa kata, hingga kemudian ia bercerita.

“Hallo Sasmi, kita ketemu di Detos saja ya, biar kamu bisa curhat lebih enak sama aku, oke aku tunggu” ku coba membantu Sasmi dengan meluangkan waktuku untuknya.

♦♦♦

Ku seruput jus jambu di hadapanku, sambil mendengarkan curahan mantan pacarku itu.

“Aku dan Radit sudah bercerai, dia pergi ke London untuk meneruskan studinya, dia meninggalkan aku dan anak kami begitu saja” Sasmi meluncurkan kata-kata yang membuatku tambah terenyuh.

“Cerai ? lalu kamu sekarang tinggal dengan siapa ?” tanyaku geram.

“Aku tinggal di rumah kontrakan bersama anakku Dona yang kini duduk di kelas satu SD” jelasnya padaku.

♦♦♦

Malam ini rasanya aku sangat gelisah memikirkan keadaan Sasmi. Wajahnya yang sangat cantik seolah meredup oleh kesusahan yang melandanya. Sasmi yatim piatu, dulu di Bandung ia di asuh oleh neneknya, kuliahnya tak selesai lantaran biaya, dan beberapa tahun kemudian ia dinikahi pria kaya dari Jakarta. Namun, tak menyangka kalau nasibnya jadi begini.

Di samping istriku yang sudah terlelap ku kirim SMS ke Sasmi.

Kamu udah tidur, Sas

♦♦♦

Sudah tiga bulan terakhir ini aku jadi tambah akrab kembali dengan Sasmi, seperti hari ini aku tidak masuk kerja, sengaja untuk mengajak Sasmi berekreasi ke salah satu taman hiburan di Jakarta. Ku lihat tawanya yang lepas, ah Sasmi sudah lama aku tak pernah melihatmu ceria.

“Riyu, aku berterima kasih sekali untuk hari ini, aku bahagia sekali, ah seandainya aku sabar menantimu, pasti aku sudah sangat bahagia menjadi istrimu” kata-kata Sasmi membuatku jadi membawaku pada kenangan masa lalu, saat indah bersama Sasmi di Bandung. Yang pada waktu itu aku sangat pas-pasan, pacaranpun tak pernah menonton ke bioskop, tapi hanya menonton tv di rumahnya kala itu, jadi lucu.

♦♦♦

“Mas, besok kan hari minggu, kita ke ancol yuk’, udah lama nih aku ngga ke sana” Melati istriku, merajuk di pelukku. Besok, aku sudah janji dengan Sasmi untuk berkeliling Bandung seharian, ia rindu dengan kota kelahirannya.

“Besok, aku ngga bisa, besok ada kerjaan di luar kota, tapi malamnya aku sudah pulang kok, minggu depan aja ya Mel, ngga papa kan” aku tiba-tiba jadi mahir berbohong.

“Oh, ngga papa mas, ya udah kamu istirahat sana, nanti kecapean, ya udah aku siapin baju kamu buat besok ya” jawab istriku dengan senyum manis dari bibirnya yang tipis.

♦♦♦

Bandung yang indah, aku , Sasmi dan Dona anaknya, tengah menikmati alam Ciwidey yang indah.

“Riyu, aku bahagia bersamamu, apakah aku masih ada kesempatan untuk kembali padamu” Sasmi membuatku membeku, lantaran kata-katanya yang mengejutkanku.

“Sas, aku pun bahagia bersamamu, tapi aku sudah punya istri” balasku gugup padanya.

“Apakah engkau lebih mencintainya dari pada aku, bukankah kamu pernah mengatakan bahwa aku adalah cinta sejatimu Riyu” kata-kata Sasmi membuatku bingung, ya memang aku sangat mencintainya, menikah dengan Melati pun adalah lantaran Ayahku menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Tiba-tiba pikiranku melayang, aku nikahi Sasmi dan ceraikan Melati, karena aku berprinsip tak ada poligami dalam hidupku. Sasmi lebih membutuhkan aku, Dona anaknya juga membutuhkan figur ayah sepertiku, aku dapat menolong kehidupan ekonomimya menjadi lebih baik, menjadikan dirinya tak lagi sepi dan sendiri. Sedangkan Melati, adalah wanita dari seorang anak Rektor Universitas di Jakarta, dan kebetulan kami belum dikaruniai anak. Dan semoga dengan menikahi Sasmi aku dapat segera memiliki keturunan.

“Sas, aku akan proses perceraianku, dan aku akan segera menikahimu” ku katakan padanya dengan lantang, sambil ku genggam tangannya erat mengisyaratkan bahwa aku tak ingin kehilangannya lagi.

♦♦♦

Ku pandangi bolak-balik cincin berlian yang sudah ku beli sebagai mas kawin untuk Sasmi.

“Mas, dari tadi senyum-senyum sendiri” Melati tiba-tiba ada dihadapanku, dengan cepat ku masukan cincin itu ke saku celana.

“Ngga papa, Mel aku mau ngomong sama kamu” ucapku terbata. Dalam hatiku, aku tak sanggup menceraikan dia, Melati sebagai istri adalah istri yang sangat baik, cantik, cerdas, sholiha, dan sangat sabar.

“Aku dulu mas yang cerita” ucapnya dengan keceriaan nampak jelas di matanya.

“Mas, Alhamdulillah aku hamil mas” Melati membuat ku seketika bahagia dan tersentak.

“Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu mas, meski kita tak pernah kenal sebelumnya, tapi aku tak pernah sedikitpun merasa ragu ketika empat tahun yang lalu engkau melamarku” Melati memelukku erat, seketika air mataku meleleh membasahi pipiku. Aku menyesal tentang perselingkuhan hati yang sudah kulakukan, betapa bejatnya aku yang tak pandai mensyukuri kehadiran istri yang begitu taat.

♦♦♦

Hari ini aku janjian bertemu Sasmi di Café dekat kantorku.

“Sas, lupakan apa yang sudah aku katakan kepadamu, kebersamaan kita di Jakarta selama ini adalah kekhilafan. Kembalilah ke Bandung, yakinlah bahwa Tuhan akan menganugrahkan suami yang baik untukmu, ini buku tabungan dan ATM, semoga yang kuberikan dapat membantumu untuk membuka toko kue dan kelangsungan pendidikan anakmu, Insya Allah cukup sampai SMA, aku pergi dulu, maafkan aku, aku sangat mencintai Melati, dia cinta sejatiku” ku tinggalkan Sasmi yang berurai air mata.

Ku langkahkan kakiku cepat, tak sabar ingin ku peluk istriku, Melati.

♦♦♦