Senin, 31 Mei 2010

Tak Setia -cerpen-

Sore semakin hitam namun pak Ado belum juga mendapatkan uang se-rupiah pun dari ikhtiarnya menjajakan pot bunga yang ia jual.
Sebelumnya, 3 tahun yang lalu pak Ado bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil yang jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dari rumahnya, namun kini pabrik tersebut telah tutup, bangkrut. Alhasil pak Ado hidupnya semakin teramat sempit, lebih sempit dari tempat tinggalnya di bilangan Jakarta Selatan yang atapnya bocor di sana-sini bersama istri dan ke tiga anaknya yang masih kecil. Pesangon yang pak Ado dapat dulu dari pabrik tak cukup untuk memodali usaha dagang yang besar, bahkan tak cukup untuk usaha kecil sekalipun. Syukurnya pak Ado memiliki tetangga yang baik hati, pak Haji Umar bermurah hati memberinya modal berupa uang dengan cuma-cuma. Dan usaha menjual pot bungalah yang dipilihnya.

♦♦♦

Mentari mulai menyambut pak Ado dengan semangat. Dengan segelas teh pahit dan singkong rebus buatan istrinya pak Ado mulai melangkah siap menjemput rejeki dari Tuhannya.

Sudah 2 kampung ia lewati, tapi belum juga ada pembelinya. Tak berapa lama kemudian.
“Pot..pot….” pak Ado meneriakan dagangannya di sebuah pemukiman penduduk.
“bang..pot bang” ucap sang calon pembeli.
“Potnya bagus-bagus juga nih”
“Bang, saya sebenarnya butuh 200 pot bunga plastik ukuran sedang dan 50 pot tanah liat. Kira-kira abang bisa Bantu ngga?” Ucap calon pembeli, wanita usia kira-kira 37 tahun itu.
Pak Ado menjawab kikuk.
“Mmm..gimana ya….” Pak Ado bingung dengan modalnya yang pas-pasan. Namun wanita itu langsung berkata “Nanti saya bayar 70% dimuka, sisanya setelah pot seluruhya dikirim, mengirimnya diangsur aja dengan gerobak abang, gimana??”
“Alhamdulillah, bisa mba, bisa..bisa..” jawab pak Ado dengan gembira.
“Oh ya nama saya Nova” wanita itu memperkenalkan diri
“Maaf, kalau nama abang sendiri?” wanita itu bertanya
“Ado” jawabnya pak Ado singkat
Wanita itu pun langsung memberikan uangnya ditambah dengan senyum yang manis dari wajah cantik wanita itu.
Pak Ado pun membalas senyum itu.

Sesampainya di rumah pak Ado pun langsung menyampaikan kegembiraan mendapatkan rejeki kepada istrinya. Di usianya yang 38 tahun pak Ado memang terlihat lebih tua dari umurnya, begitupun istrinya yang sudah 1 tahun terakhir ini terkena struk ringan. Namun Atin, istri pak Ado tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri, Atin sangat sabar dengan keadaan suaminya yang sangat jauh dari ideal seorang suami yang mapan.
Cintanya kepada pak Ado membuat ia ikhlas meninggalkan kemewahan orang tuanya di Bandung demi mendapatkan seorang suami seperti pak Ado yang ia kenal seorang pria yang sholeh dan keyakinan hatinya bahwa pak Ado dapat membuat dia bahagia.

♦♦♦

Siang yang mendung, pak Ado menuju rumah Mba Nova calon pembelinya kemarin. Dengan langkah tegap pak Ado mendorong gerobak dengan pot pesanan Mba Nova.

“Assalamualaikum…” ucap pak Ado
“Oh masuk bang Ado…” balas mba Nova sambil membuka pintu rumahnya yang mewah.
“Ini mba pot pesanannya..” ucap pak Ado

Jam dinding dirumah mba Nova menunjukan pukul 2 siang, namun langit yang gelap seolah menunjukan hari telah malam. Hujan pun turun deras. Pak Ado pun tak dapat segera pulang.

Pak Ado merasa tak enak harus berlama-lama di rumah mba Nova karena hujan, itu lantaran mba Nova seorang janda muda tanpa anak yang hanya tinggal sendiri di rumah yang tak dapat dikatakan sederhana. Biasanya mba Nova tinggal bersama pembantu di rumah, namun karena bapaknya sakit di kampung, pembantunya meminta izin untuk dapat berada dikampung selama 3 minggu.

Bersamaan dengan deras hujan di luar sana, pak Ado dan mba Nova saling berbincang. Selama obrolon berlangsung, mba Nova menatap pak Ado seakan ia menjumpai seorang pangeran yang dinantinya. Tanpa dipungkiri pak Ado dikehidupannya yang sulit, masih tersisa garis-garis ketampanan di wajahnya dengan tinggi badan ideal.

Demikian pun pak Ado, ia sesekali menoleh kikuk kearah mba Nova yang cantik rupa dengan bibir kemerahan bukan polesan.

“Uhuk..uhuk..” pak Ado terbatuk.
“Maaf, tenggorokan saya gatal, seperti mau flu, kemarin kehujanan” ucap pak Ado.
“Sebentar saya ambilkan balsam” lanjut mba Nova

Mba Nova menggosokan balsam di tenggorokan pak Ado, mulanya pak Ado menolak, namun pak Ado akhirnya membiarkan mba Nova menggosokan balsam ke tenggorokannya. Sambil meminta pak Ado untuk beristirahat saja di kamarnya.

“Di kamar saya bang, tidur saja dulu, toh hujan masih deras..” ajak mba Nova
“Oh..tidak mba, saya numpang neduh di teras saja” tolak pak Ado lembut
“Ayolah bang, di luar dingin” rayu mba Nova.
Sambil menggamit tangan pak Ado, mba Nova membawa ke kamarnya. Dengan wajah pucat pak Ado menurut saja seolah tersihir dengan kecantikan mba Nova.

“Tidur saja di sini dulu bang..” ucap mba Nova

Mba Nova meminta tolong pada pak Ado untuk memijat kakinya yang putih dan indah dengan minyak kayu putih, pegal alasannya. Pak Ado pun langsung menurut, “menolong” demikian hatinya bilang.

Hujan tak juga reda. Jam dinding sudah menunjukan pukul lima sore lebih 15 menit. Menjadi hari kehancuran bagi istri sholiha yang setia dan cemas menanti pak Ado di rumah, Atin istri pak Ado melongok ke kaca jendela, berharap suaminya segera pulang. Tak biasanya hati Atin gundah gulana.
Di rumah mba Nova. Pak Ado berlaku seperti hubungan suami istri kepada mba Nova.
“Maafkan saya mba…” dengan air mata pak Ado yang menganak sungai, pak Ado meminta maaf kepada mba Nova atas apa yang ia lakukan.
“Maafkan saya juga bang..” ucap mba Nova sambil berusaha menutupi bagian dadanya dengan selimut.

Enam dua puluh menit. Hujan telah reda, meski gerimis masih membasahi.

Pak Ado memohon pamit dan maaf kepada mba Nova dengan terbata.
“Ini uang 10 juta untuk abang, sebagai pembayaran pot dan sisanya sebagai hadiah dari saya” ucap mba Nova sambil menggapai telapak tangan pak Ado dan meletakan amlop berisi 10 juta.
Tak ada kata terucap dari pak Ado.

♦♦♦

“Ayah kok baru pulang..” sambut istrinya sambil membukakan pintu untuk sang suami yang dinantinya sedari tadi.
Pak Ado membisu, teringat sore tadi tentang apa yang ia lakukan terhadap mba Nova yang bukan istrinya. 10 juta masih terdiam di gerobak pak Ado terbungkus plastik yang diletakan di dalam pot. Pak Ado terus terdiam meski istrinya berulang kali mengajaknya bicara. Pak Ado membisu hingga larut malam, menangis karena ia merasa hari ini ia telah menjual dirinya.

Malam tanpa bintang.

Pak Guru -Cerpen-

Cuaca pagi ini cerah banget, tapi..gue males banget sekolah. Hari ini ada pak Marto, si guru bahasa Indonesia yang ngebosenin, ugh..satu jam pelajaran dia bisa bikin gue seketika jamuran, rasanya tuh lamaaaaa banget. Mending gue telfon Dias, siapa tau dia klop ama gue soal hari ini.

“Halo Dias, sekolah ngga loe hari ini, ngga usah deh…oke ya!?” ucapku via Nokia CDMA-gue yang pinky.

“Gila loe, sekarang khan ulangannya pak Marto, mampus loe kalo sampe ngga ikut pelajaran dia lagi, loe khan udah tiga kali ngga ikut pelajaran dia” balas sahabat gue yang bikin jadi tambah bête.

“Bodo ah, gue ngga suka banget pelajaran bahasa, bikin puisi, cerpen, ah pokoknya bête, gue lebih seneng ngerjain tugas matematika seribu soal deh dari pada kudu ngikutin pelajaran bahasa” timpal gue dengan sedikit sinis.

♦♦♦

Bete juga jalan-jalan di mall sendirian, nyokap keluar kota sampe bulan depan, alhasil gue tinggal berduaan doang sama mba Tatin pembantuku yang super rajin. Yach gitu deh nasib anak tunggal, udah gitu bokap juga udah pisah sejak gue dua tahun, ach…jadi tambah bête gue inget bokap.

Ada telfon nih.

“Yuna, ada di mana loe ? pak Marto hari ini ngga masuk, dia kecelakaan, motornya di tabrak bus kopaja” teman sekelas gue Agung menelfon.

“Astagfirullah, terus..terus..guru-guru pada jenguk ? parah ngga ? terus anak-anak kapan rencana jenguk ?” seberondong pertanyaan meluncur dari mulut gue. Meski gue sebel sama pak Marto, tapi dia juga tetap guru gue, ngga ada masalah sih gue dengan pak Marto, gue cuma ngga suka banget sama pelajaran bahasa Indonesia.

♦♦♦

Udah jam enam pagi, duh..males banget gue hari ini, eh kayaknya tiap hari gue males ya.., he..he…

Semangat..semangat…semangat..mandi ah….

♦♦♦

Di ruang kelas tiga SMA Latasya yang agak rusuh, gue asik aja sedari tadi nyisir rambut gue yang hitam indah, disemir sih, abis kalo disemir warna laen jadi kayak turis nyasar.

“Yuna, tau ngga sih loe, kalo pengganti sementara pak Marto adalahhhh pak Andre, keren khan ?!” Dias teman sekelas membacakan berita hari ini dengan wajah yang sumringah.

“Pak Andre ? emang kita punya guru namanya pak Andre ?” tanya gue bingung.

“Au ah, pak Andre guru baru di sekolah kita, guru bahasa Indonesia kelas dua, yang muka sama postur tubuhnya mirip banget sama presenter Coki Sitohang” jelas Dias dengan gayanya yang super centil.

“Norak loe, ngga penting ganteng apa ngga, pokoknya pelajaran bahasa gue ngga demennnn” balas gue dengan memanyunkan bibir yang baru sembuh dari sariawan.

♦♦♦

Hari ini hari pertama pak Coki Sitohang, eh pak Andre ngajar di kelas gue yang indah dan sejuk serta penuh kedamaian, ups..terlalu lebay kayaknya. Sedari tadi gue ngga terlalu ngacuhin dia ngajar, gue ngga demen pelajaran itu. Tapi…duh…kok gue jadi deg-degan gini sih, dia ngeliatin gue mulu perasaan, yach..dia ke arah gue, eh sialan ternyata cuma lewat doang.

“Saya kasih kalian tugas untuk membuat satu cerpen, satu puisi, dan lima pantun, temanya bebas dan dikumpulkan kamis besok” pak Andre memberi tugas yang begitu banyak, aduh…alamat ngga nafsu makan deh gue.

♦♦♦

Baru jam dua, males ah kalo langsung balik ke rumah, gue jalan-jalan ke Mall dulu ah, sekalian nyari komik terbaru.

“Eh Yuna, mau pulang ya, mari saya antar” pak Andre tepat berada di hadapanku dengan tigernya yang biru tua.

“Makasih pak, saya mau ke Mall dulu, makanya saya ganti kaos nih” jawabku dengan sedikit gugup, duh norak banget sih gue.

“Ya udah kalo gitu sekalian, saya juga mau ke Mall, adik saya minta dibelikan kamus bahasa perancis” waduh, rejeki banget nih, bisa dibonceng sama pak Andre yang ganteng, yes…

Pak Andre melaju dengan tigernya, tentunya gue juga ikut.

♦♦♦

Ih…malem ini gue jadi kepikiran pak Andre mulu, keren banget sih tuh guru, tadi dia beli CD lagunya Ran, Tompi, Anggun, sama VCD kebugaran. So sweet banget sih tuh cowok, aduh..tadi indah banget rasanya ditraktir es cream, udah gitu gue dikasih buku kumpulan puisi salah satu koleksinya yang dia bawa di dalam tasnya. Gue bela-belain baca buku ini buat pak Andre, oh pak Andre..oh pak Andre, ih…gue jadi kayak orang gila gini senyum-senyum sendiri, he..he…

Mending ngerjain tugas dari pak Andre, komputer pentium empat udah siap gue ketak-ketik, gue hampir ngga pernah pake nih komputer selain buat chating. Mmmm…gue bikin puisi dulu deh.

♦♦♦

Waw Rabu yang indah, tadi gue berpapasan sama pak Andre di depan ruang kelas satu, bukan kebetulan sih tapi emang sengaja biar gue berpapasan, gue jadi ngga sabar nunggu besok, jam pelajaran dia di kelas gue.

“Yuna, ngapa loe bengong, ayo jam istirahat udah abis” Dias menarik tangan gue menuju kelas.

“Eh, loe kayaknya sering banget curi-curi pandang ke pak Andre, loe naksir ya ?” Dias bertanya dengan mata melotot, eh bukan melotot tapi emang matanya yang belo banget.

“Sok tau loe, pak Andre kayak pedekate gitu ke gue” ucap gue pede pada Dias

“Ih..plis deh Yun, apa buktinya ?” Dias membalas sinis, ngiri kali yaa..

“Dia tuh pernah ngeboncengin gue dengan motornya itu, udah gitu gue ditraktir, eh dikasih buku favoritnya lagi, apa itu bukan yang namanya langkah-langkah seorang pria ngedeketin wanita” jawab gue semangat, sampai-sampai teman sekelas nengok ke arah gue, mudah-mudahan mereka ngga ngeh ama apa yang gue bilang, bisa-bisa wanita-wanita di kelas gue pada demam tinggi lantaran ngiri sama gue. Jujur sih, gue itu salah satu wanita idola di SMA gue, udah sepuluh cowok di SMA ini yang udah jadian sama gue, terus gue putusin, secara fisik gue diatas rata-rata.

♦♦♦

Sekarang gue jadi semangat sekolah terus, pak Andre itu alasannya. Udah sebulan pak Andre ngegantiin pak Marto, besok pelajaran pak Andre lagi, Dias temen sebangku gue kaget kalo gue jadi hobi tuh ama yang namanya bikin puisi dan jadi doyan baca sastra. Aduhhh udah tiga hari terakhir gue seneng banget, gue dianterin pulang mulu sama pak Andre, pak Andre…emang dia udah jatuh cinta pada wanita yang tepat, yaitu gue.

♦♦♦

Loh kok yang nongol pak Marto bukannya pak Andre.

“Selamat pagi anak-anak” pak Marto yang sudah pulih memberi salam.

“Selamat berjumpa kembali, hari ini bapak kembali mengajar setelah satu bulan istirahat” pak Marto senyum-senyum dengan kumis tipisnya.

“Pak Andrenya ?” spontan pertanyaanku lantang meluncur.

“Oh pak Andre titip salam buat kalian, pak Andre sudah pindah dari sekolah kita, beliau ingin melanjutkan S2 di Yogyakarta” seketika badan gue serasa remuk dilindas truk seusai pak Marto memberikan kabar yang sumpah menyedihkan banget.

♦♦♦

Hari ini bolos sekolah, tiba-tiba gue jadi ngga enak badan. Pak Andre…kapan kita bisa ketemu lagi. Kok dia ngga pamit sama gue ya…, aduh…kenapa kita ngga tukeran nomer HP sih…

Gue buka-buka buku kumpulan puisi pemberian pak Andre yang baru gue baca kata pengantarnya doang. Saat gue buka-buka lembarannya, tepat di halaman 79 terselip kartu nama pak Andre, terima kasih Tuhan.., akhirnya.

Ku tekan digit nomer handphone pak Andre. Nada sambung sudah terdengar, yup..diangkat.

“Assalamualaikum…” suara wanita dari handphone pak Andre.

“Wa’alaikum salam, bisa bicara dengan pak Andre !” balasku semangat.

“Pak Andrenya sedang di kamar mandi, ini dengan siapa ?” jawab dan tanya wanita disebrang sana.

“Aku Yuna, muridnya dari Jakarta, ini siapanya ya ?” jawab dan tanyaku pada wanita yang mengangkat handphone pak Andre.

“Saya Mariam istrinya” jawabnya singkat. Spontan gue matiin HP gue. Seketika gue lemesss banget. Pak Andre udah punya istri ???.

Gue benci pelajaran bahasa…….benci………….

♦♦♦

Pertemuan -Cerpen-

Ku terima sepucuk surat dari seorang perempuan yang telah dititipkan pada sahabatnya. Amplop berwarna merah ati, warna favoritku, ku buka pelan-pelan di kamarku seusai sholat ashar.

Duhai pria yang sholeh, ada sesuatu yang ingin kusampaikan, sesuatu yang membuatku gelisah, rindu, rasa ingin memiliki dan juga senang. Aku sudah sejak dua tahun lalu mulai memperhatikanmu, menyukai engkau dari jauh. Semoga engkaupun demikian, namun bila tidak, sudah cukup bahagia dan lega bila akhirnya engkau tau tentang rasa yang membuatku berani bermimpi tentang hidup berkeluarga. Maafkan bila apa–apa yang ku ucapkan membuatmu menjadi tak nyaman. Aku hanya tak ingin menyimpannya lebih lama.

Yang mencintaimu,

Yasmin Fariha Cahyosuto

Air mata menetes begitu saja seusai ku baca surat itu. Yasmin Fariha Cahyosuto, aku tercengang dengan nama itu. Sudah tiga tahun aku di Jakarta, dan sudah 2 tahun 2 bulan aku sekantor dengan Yasmin, tanyaku dalam hati, apakah mungkin kami beda bagian dan lantai hingga aku tak mengetahui ada yang bernama Yasmin Fariha Cahyosuto, apakah itu dia, apakah benar dia.
♦♦♦
Di kantorku pukul 4 sore menjelang pulang, ku cari informasi kepada teman-teman di kantor, di mana ruang kerja Yasmin Fariha.
Ditengah pencarianku, seorang wanita datang menghampiriku, dia yang menyampaikan surat Yasmin kepadaku.
“Pak Andika, sudah baca suratnya Yasmin kan? Jawabannya?” seberondong pertanyaan keluar dari bibir teman Yasmin dengan penuh keingin tahuan.
“Temanmu sekarang di mana? Aku tunggu di Café Patenggang sekarang” jawabku pada temannya, segera ku meninggalkan kantor.
♦♦♦
Kami saling duduk berhadapan, aku, Yasmin, dan temannya, Mia namanya. Yasmin tertunduk malu, wajahnya kemerahan dengan senyum yang mengembang.
“Aku sudah baca suratmu, Yasmin aku ingin bertanya tentang sesuatu” lalu ku keluarkan sebuah foto dari dompetku.
“Kamu kenal dia Yasmin?” tanyaku bergetar.
“Dia papaku, Mas Aziz kenal?” tanyanya kepadaku.
“Dia papaku juga Yasmin, berarti kamu kakakku, mbaku” jelasku sambil memegang erat tangannya. Yasmin pucat mendengar kata-kataku.
“Bapak menikah dengan ibuku sewaktu kamu berumur 2 tahun, ibuku tidak tahu kalau Bapak sudah punya istri di Jakarta” jelasku
“Tidak mungkin, papaku selalu tinggal bersamaku, mama juga tidak pernah bertengkar dengan Papa, kamu mau nyakitin aku dengan dustamu itu” ucap Yasmin sambil berteriak kearahku.
“10 tahun yang lalu aku terakhir ketemu bapak, dan bapak menceritakan semuanya. Ibuku marah mendengarnya, sampai-sampai ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal 5 tahun yang lalu. Aku pun kecewa dengan bapak, tapi bapak tetap mengirim kami nafkah tiap bulan, hingga aku dapat lulus kuliah tanpa kendala, tujuanku ke Jakarta yang utama adalah mencarimu, mencari bapak, sebab aku dan almarhumah ibu tak pernah tahu keberadaan bapak di Jakarta, sesekali bapak masih suka menelponku, terakhir lima bulan yang lalu” ceritaku panjang lebar. Yasmin hanya menangis dan menangis.
“Apa kamu mau bertemu papa?” tanya Yasmin.
“Iya, aku sangat ingin bertemu, sudah 10 tahun aku tak pernah bertemu, kapan aku bisa bertemu bapak?” tanyaku.
“Sekarang, papa dirawat dirumah sakit sudah tiga hari, tiga hari yang lalu mobil papa mengalami kecelakaan, papa koma mas” jelas Yasmin.
♦♦♦
Rumah Sakit Pasar Rebo, pukul 02.00 dini hari. Sejak tadi Isya aku sudah berada di samping bapak yang terbaring lemah. Ibunya Yasmin pun turut menenangkanku, Alhamdulillah beliau tak membenciku.
♦♦♦
Zhuhur telah berlalu, isak tangis keluarga masih mengiringi kepergian bapak. Selamat jalan bapak, biarkan aku yang menjaga Yasmin dan ibunya, pergilah dengan penuh kedamaian, kami telah memaafkanmu pak.
♦♦♦